SEKSI PENGAWASAN POLRES CIAMIS: Membangun Komitmen Organisasi
Subscribe:

Rabu, 05 September 2012

Membangun Komitmen Organisasi



1. Menurut Martin dan Nichols (1991, dalam Soekidjan, 2009), Tiga pilar komitmen yang perlu dibangun adalah:
Rasa memiliki (a sense of belonging)
Rasa bergairah terhadap pekerjaannya
Kepemilikan terhadap organisasi (ownership)

Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota bahwa apa yang dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi, cara mendapat dukungan penuh dari organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah terhadap pekerjaan ditimbulkan dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang, serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat ditimbulkan dengan melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-keputusan (Soekidjan, 2009).
  
2. Konsep Budaya organisasi
Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang Merupakan bentuk Jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan Sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. bahasa InggrisLatin bahasa Inggris, kebudayaan Disebut budaya, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau Mengerjakan. Dalam , kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dalam Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Juga bisa diartikan Sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia. Kata budaya kadang juga diterjemahkan Sebagai kultur dalam bahasa Indonesia (Wikipedia, 2009).

Pengertian Organisasi
Sutarto (2006) mendefinisikan organisasi adalah proses penggabungan pekerjaan yang para individu atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efisien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia. Dan Bernand (1938, dalam Sutarto, 2006) mendefinisikan organisasi adalah suatu sistem aktivitas-aktivitas kerja sama dari dua orang atau lebih sesuatu yang tak berwujud dan tak bersifat pribadi, sebagaian besar mengenai hal hubungan-hubungan. Sedangkan Mooney (1974, dalam Sutarto, 2006) mendefinisikan organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk pencapaian suatu tujuan bersama.

Organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Sutarto, 2006). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan organisasi yaitu: orang-orang, kerjasama dan tujuan tertentu. Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling kait merupakan suatu kebulatan. Maka dalam pengertian organisasi digunakan sebutan sistem yang berarti kebulatan dari berbagai faktor yang terikat oleh berbagai asas tertentu (Sutarto, 2006).

Pengertian Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2003), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001) menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.

Gibson (1996, dalam Rastodio, 2009) merumuskan: Kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Kreitner dan Kinicki (2003, dalam Ratodio, 2009) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta menendalikan perilaku para anggota.

Schein (1992, dalam Rastodio, 2009) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.

Menurut Noe dan Mondy (1993, dalam Rastodio, 2009), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan budaya organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi berkaitan dengan sistem makna bersama yang diyakini oleh anggota organisasi(Rastodio, 2009)

Karakreristik budaya organisasi 

1. Karakteristik budaya Organisasi menurut Muchlas

Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik penting (Muchlas, 2008). Beberapa karakteristik yang telah disetujui adalah sebagai berikut :
  • Keteraturan perilaku yang dapat diamati Ketika para partisipan organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, terminologi, dan upacara yang umum berlaku dalam organisasi tersebut
  • Perilaku standar terjadi termasuk petunjuk-petunjuk tentang berapa banyak yang harus dikerjakan, yang dalam banyak organisasi berlaku: Jangan bekerja terlalu banyak, jangan bekerja terlalu sedikit.
  • Nilai-nilai yang dominan
  • Banyak nilai penting yag dianjurkan oleh sebuah organisasi dan diharapkan para partisipan mau berbagi rasa dengan nilai-nilai tersebut. Contoh yang khusus adalah kualitas produk yang tinggi, angka absen kerja rendah, dan efisiensi yang tinggi.
  • Filosofi : Banyak kebijakan yang dibuat untuk menanamkan kepercayaan pada organisasi tentang bagaimana para karyawan dan para pelanggan harus diperlakukan.
  • Aturan-aturan : Beberapa petunjuk yang ketat berhubungan dengan penyesuaian diri dalam organisasi. Para pendatang baru harus belajar meniti tali, ini supaya dapat diterima sebagai anggota penuh dari kelompok.
  • Iklim Organisasi : Hal ini merupakan perasaan umum yang dibawa oleh penempatan fisik, cara partisipan berinteraksi, dan cara para anggota organisasi membawa diri terhadap para pelanggan atau orang-orang luar lainnya (Muchlas, 2008).

2. Karakteristik Budaya Organisasi menurut Robbins

Tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya (Robbins, 2003) Ketujuh karakteristik tersebut, yaitu: 
  • Inovasi dan pengambilan resiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
  • Perhatian terhadap detail: Tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
  • Orientasi terhadap hasil: Tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
  • Orientasi terhadap individu: Tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.
  • Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
  • Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
  • Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.
Adapun tipologi budaya menurut Sonnenfeld (Robbins, 2003 ), ada empat tipe budaya organisasi: pertama tipe akademi yaitu perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah. Kedua tipe klab yaitu Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim dan yang ketiga tipe tim bisbol perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi serta yang keempat adalah tipe benteng yaitu perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat lagi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena mereka memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.

Fungsi Budaya Organisasi

1. Fungsi Budaya Organisasi menurut Robbins

Menurut Robbins (1996, dalam Rastodio, 2009 ), fungsi budaya organisasi terdiri dari :
  • Budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
  • Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
  • Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
  • Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
  • Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
2. Fungsi Budaya Organisasi menurut Noe dan Mondy

Sedangkan budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996, dalam rastodio, 2009) berfungsi untuk:
  • Memberikan sense of identitykepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian integral dari organisasi.
  • Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi
  • Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.

Tipe Budaya Organisasi

Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.

Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menyatakan bahwa nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu:
  • Penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama.
  • Menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai.
  • Memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya. Sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun. Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa  lingkungan organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif (Rastodio, 2009).

Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Menurut Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menjelaskan bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi.

Makna terpenting dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya.

Referensi
  1. Allen, N. J. & Meyer, J. P., 1993, Organizational commitment: Evidence of career stage effects? Journal of Business Research, 26, 49-61.
  2. Curtis, Susan, and Dennis Wright, 2001, Retaining Employees - The Fast Track to Commitment, Management Research News, Volume 24.
  3. Cut Zurnali, 2010, "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad Press, Bandung.
  4. Durkin, Mark, 1999, Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and Exploring Hidden Dangers, International Journal of Bank Marketing, Vol 17. 3: 124-134.
  5. Hom, P. & Griffeth, R., 1995. Employee turnover, Cincinnati, OH: Southwestern.
  6. S.G.A. Smeenk, R.N. Eisinga, J.C. Teelken and J.A.C.M. Doorewaard, 2006, The effects of HRM practices and antecedents on organizational commitment among university employees, International Journal. of Human Resource Management 17.

0 comments:

Enter your email address: Delivered by FeedBurner